OPINI - Ada dua hal penting yang dinegasikan oleh Surat Edaran Nomor 003/2219/SJ yang dikeluarkan Kemendagri, yang melarang makan dan minum saat halal-bihalal, jika niat utamanya sekadar untuk mencegah persebaran COVID-19.
Bagi saya cara pandang pemerintah terasa sangat dangkal bahkan terkesan prematur karena tidak melibatkan disiplin antropologi linguistik dan psikologi sosial sebagai penggaris.
Dalam arti, jika ditarik ke dalam prespektif teori semiotika, di mana persoalan ini akan menjadi sangat teknis dan teoretis, sebagaimana kita tahu setiap teks yang dilontarkan oleh komunikator tidak bisa dipisahkan dari konteksnya. Tidak ada teks tanpa konteks.
Teks di sini, menurut Guy Cook, merupakan semua bentuk bahasa bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, ekfek, suara, citra dan sebagainya.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa teks bersifat sistematis dan memiliki struktur yang teratur dengan elemen-elemen yang, apabila terjadi perubahan pada salah satu elemen, akan berdampak sistemik.
Sedangkan konteks itu sendiri, meliputi situasi, baik sesuatu yang berada di luar teks maupun yang mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa dan situasi di mana teks tersebut diproduksi.
Baca juga:
Birokrasi di Era 4.0 Tantang ASN Berkualitas
|
Artinya, bahasa sebagai piranti komunikasi lisan memiliki fungsi sosial dan bersifat dinamis. Proses komunikasi tersebut dapat berjalan lancar apabila komunikan dan komunikator sama-sama memahami konteks, baik dalam artian situasi maupun sosiokulturalnya.
Jadi, halal bihalal sebagai teks, tentu memiliki konteks yang melekat karena kita sama-sama tahu bahwa tradisi saling mengunjungi dan bermaaf-maafan tersebut merupakan produk budaya, asli Indonesia, dan tidak dikenal di daerah lain termasuk ajaran Islam.
Tapi, tradisi ini bukannya tidak memiliki akar yang kuat, jika dilihat dari sisi morfologi dan sintaksis dengan deep structure theory serta surface structure, halal bihalal dengan pendekatan izmar (sisipan spekulatif pada kalimat) memiliki makna thalabu halal bi thariqin halal.
Mencari kehalalan dengan cara yang halal, mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Bisa juga menggunakan makna halal yujza’u bi halal, kehalalan dibalas dengan kehalalan, pembebasan kesalahan dibalas dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Sehingga dari sini, halal bihalal tidak bisa dilihat dari kegiatan saling mengunjungi yang sifatnya rutinan semata, tapi ada proses yang sangat panjang di mana seseorang yang telah melalukan satu bulan puasa di bulan ramadhan harus dipungkasi dengan kegiatan saling maaf-memaafkan agar kembali menjadi bersih. Menjadi fitri. Dan ini adalah prinsip beragama masyarakat.
Selain itu, kegiatan saling berkunjung seraya bermaaf-maafan ini tidak bisa lepas dari konteks tradisi dan budayanya; sebagaimana yang saya katakana di awal tadi bahwa ada dua hal penting yang dinegasikan oleh Surat Edaran Nomor 003/2219/SJ tersebut, yang pertama adalah falyukrim dloifahu, tentang memuliakan tamu.
Ada orang datang berkunjung ke rumah seseorang untuk berhalal bihalal, tapi oleh pemerintah, karena alasan COVID-19, si pemilik rumah diminta untuk tidak memberi suguhan.
Baik berupa makan maupun minum. Padahal memuliakan tamu oleh budaya, dan ini poin yang kedua, dijabarkan dengan idiom aruh, gupuh, rengkuh, lungguh dan suguh (menyapa, menyambutnya dengan gembira, memberikan kehangatan, mempersilakan duduk, dan member sajian).
Sehingga, menurut saya, acara halal bihalal tanpa ramah tamah, tanpa makan opor dan ketupat seraya berbincang untuk mencairkan suasana dan mengais-ngais keakraban masa lalu adalah perbuatan yang tidak nJawani. Tidak Nusantarais.
Meskipun saya sepakat bahawa penyebaran COVID-19 harus dicegah dampaknya. Tapi, dengan melarang masyarakat untuk melakukan ini-itu, dengan alasan agar penularan COVID-19 dapat dikendalikan, bagi saya seperti merampas sesuatu yang paling berarti pada diri masyarakat.
Begini.
Tentu masih segar di dalam ingatan kita, beberapa tahun ini rakyat sudah menderita karena COVID-19, mungkin ada juga kerabat mereka yang mati karenanya; belum lagi, menjelang lebaran harga bahan makanan pokok melambung tinggi dan minyak goreng menjadi langka di pasaran.
Itu semua berlangsung di saat masyarakat masih dalam proses pemulihan ekonomi. Pihak yang paling terdampak adalah masyarakat. Rakyat kecil yang secara ekonomi tidak pernah menggantungkan hidupnya dari anggaran pemerintah, tidak pernah mendapat Gaji ke-13, tidak mendapat THR—kini, ketika ada kegembiraan kecil yang hendak mereka rayakan, lagi-lagi, pemerintah membatasinya.
Tentu akan ada yang menyangga, bahwa semua ini dilakukan pemerintah untuk kebaikan masyarakat. Bukankah semua ini dilakukan pemerintah karena amanah konstitusi mengatakan untuk melindungi segenap bangsa Indoensia dan seluruh tumpah darah Indonesia?
Iyo. Sak karepmu!
Fajar SH
Pegiat Literasi Blitar (PLB) dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pincab Kabupaten Blitar.